Sabtu, 06 April 2013

Petani Menipis di Negeri Agraris

IBARAT ayam mati di lumbung padi. Begitulah gambaran kondisi nasib petani di Indonesia, saat ini. Negeri di lintasan garis khatulistiwa, menjadikan masyarakat di negeri ini bermata pencaharian sebagai petani sejak berabad-abad lamanya, kini bernasib tragis.

Data di BPS menyebutkan, jumlah warga bermata pencaharian sebagai petani saat ini masih dominan, yakni 39 %. Namun dibanding sebelumnya, jumlah itu menurun. Data BPS menyebutkan, dalam setahun selama 2011 saja jumlah petani berkurang 3,1 juta (7,42 %).

Yang meresahkan lagi, usia rata-rata mereka 45 tahun. Artinya, dominasi pekerja sebagai petani lebih banyak dilakukan mereka yang berusia lebih dari 40 tahun, sementara teknologi pertanian seperti jalan di tempat. Ironis memang, karena yang membutuhkan pangan dari hari ke hari kian meningkat, seiring dengan jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia.
Kondisi ini mengukuhkan kecemasan Thomas Malthus, yang sejak 1798 sudah memberi peringatan bahwa jumlah manusia meningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika.

Teori dua faktor Herzberg mengasumsikan bahwa hanya beberapa ciri pekerjaan dan karakteristik dapat menghasilkan motivasi. Herzberg memandang bahwa kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator.
Faktor-faktor itu meliputi upah, kondisi kerja, keamanan kerja, status, prosedur perusahaan, mutu penyeliaan, mutu hubungan interpersonal antarsesama rekan kerja, atasan, dan bawahan.

Harus diakui, percepatan kemajuan industrialisasi kini lebih banyak didominasi perusahaan nonpertanian. Sementara pertanian, lebih banyak dikelola secara tradisional dengan jumlah lahan yang sempit.
Jumlah petani gurem di Indonesia menempati posisi tertinggi. Data BPS menyebutkan bahwa sekitar 60% atau 120 juta penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan 70% di antaranya hidup dari pertanian. Setengah dari jumlah itu adalah petani gurem atau petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, bahkan sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan.

Mengacu dari pendapat Herzberg, ada sejumlah alasan mengapa jumlah petani berkurang. Soal gaji misalnya, bekerja di pabrik lebih jelas karena sistem penggajian bersandarkan pada aturan baku yang ditetapkan sesuai upah minimum kota/kabupaten (UMK) berikut tunjangannya.

Naik Kasta

Hal ini berbeda dengan dunia pertanian, yang lebih banyak didominasi petani gurem, yang persoalan manajemen usaha tidak dikelola dengan baik. Buntut dari semua itu, berimbas ke buruh tani.
Data di BPS, gaji buruh tani (harian) pada Januari 2012 dengan nominal Rp 39.727, namun riilnya hanya Rp 28.582 atau bahkan lebih rendah lagi. Bandingkan dengan UMK.

Yang lebih tragis lagi, karena sebagian besar petani adalah berlahan sempit, maka pemilik tanah penghasilannya juga bergantung dari panen. Dengan begitu, upah yang diberikan didasarkan pada persentase hasil panen atau menyesuaikan hasil panen. Kalau ini terjadi, berarti para buruh tani akan ''berpuasa'' beberapa bulan.
Di luar upah, kondisi kerja, keamanan kerja, status, prosedur perusahaan, mutu penyeliaan, mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan, dan bawahan, kondisi petani lebih tidak terjamin.

Akhirnya, bekerja di bidang nonpertanian seolah ''naik kasta''. Repotnya lagi, stigma buruk dunia ketenagakerjaan pertanian juga berimbas di lembaga pendidikan. Sekolah pertanian kini banyak dihindari. Sebagian orang menganggap, lulusan pendidikan pertanian kurang memiliki masa depan. Jumlah penimba ilmu di bidang ini, utamanya SMK Pertanian, makin lama kian susut. Jumlah SMK Pertanian hanya 210 dari sekitar 8000 SMK.

Di luar persoalan ketenagakerjaan, banyak masalah yang melingkupi kemunduran dunia pertanian di Indonesia. Menyempitnya luas lahan akibat konversi daerah pertanian menjadi industri dan perumahan, cukup memprihatinkan.
Hasil sensus lahan oleh Kementerian Pertanian (Kementan), lahan sawah pada 2010 susut menjadi 3,5 juta hektare (ha) dari 4,1 juta ha pada 2007. Dalam rentang waktu tiga tahun, konversi lahan mencapai 600 ribu ha.
Sikap pemerintah yang kurang berpihak pada pertanian, juga dapat dilihat dari pengembangan teknologi pertanian yang kalah jauh dibanding dengan Thailand.

Selain itu, terbukanya keran impor hasil pertanian dari tahun ke tahun kian membesar, menghancurkan kehidupan para petani di Indonesia. Produk dalam negeri tersisih, karena kalah kualitas dan harga. Kondisi pertanian jadi makin terpuruk. Sungguh ironis, petani kian menipis di negeri yang berjuluk agraris.(09)

l Edy Muspriyanto (/) 
Sumber: www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/Petani-Menipis-di-Negeri-Agraris
 

Tidak ada komentar: